Persembahan Ulama’ Pesantren untuk Bumi Pertiwi: Menapak Histori Perjuangan di Kota Emping; LIMPUNG
![]() |
Sumber Gambar : https://riyatipendidikanips.wordpress.com |
Bangsa Indonesia adalah salah satu bangsa yang memiliki perjalanan sejarah luar biasa dan selalu menarik untuk disimak. Telah banyak tokoh-tokoh bangsa yang namanya diabadikan dalam catatan sejarah, baik dalam bentuk buku, film, patung-patung, monumen, dijadikan nama tempat-tempat penting seperti bandara, gedung olah raga, nama museum, nama jalan, dan masih banyak lagi. Hal-hal tersebut merupakan bagian dari upaya pemerintah agar setiap warga negara dapat mengenal tokoh-tokoh pendiri bangsa, dapat meneladani kisah perjuangan para tokoh pejuang kemerdekaan, sehingga diharapkan dapat timbul kecintaan kepada bangsa dan negara, sekaligus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar dan bermartabat. Sebagai mana yang diucapkan Bung Karno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pendahulunya”. Bung Karno juga berpesan melalui slogannya yang mendunia “JAS MERAH: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”.
Melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, kita dikenalkan dengan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan, seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta, Bung Tomo, Jendral Soedirman, Teuku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, KH. Hasyim Asy’ari, Cut Nyak Dien, Ir. Kartini dan masih banyak lagi. Nama-nama tersebut akan selalu masyhur dan terkenang sepanjang sejarah karena jasa besar mereka. Sebenarnya tidak hanya nama-nama tersebut yang patut kita apresiasi dan kita teladani perjuangannya, banyak tokoh pejuang di daerah-daerah, di pelosok desa, yang memiliki andil luar biasa bagi kemerdekaan Indonesia. Kali ini redaksi mencoba mengulas perjalanan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan di kawasan Limpung dan sekitarnya.
Tepatnya di dukuh Banyubening (sekarang Kalibening), Kelurahan Kalisalak, Kecamatan Limpung. Menjadi saksi sejarah perjuangan tokoh-tokoh islam dalam ikhtiar memerdekakan Indonesia. Pemakaman di sebelah utara Masjid Kalibening menyimpan banyak cerita perjuangan dalam melawan penjajah Belanda pada kala itu.
Pak Asy’ari selaku juru kunci makam menuturkan, orangtua beliau pernah berpesan agar makam-makam tersebut dijaga, suatu saat nanti keturunannya akan datang. Saat itu sama sekali belum diketahui siapa saja yang dimakamkan di pemakaman tersebut. “Akhirnya sedikit demi sedikit mulai ada kejelasan tentang tokoh-tokoh yang dimakamkan di sini berikut peristiwa sejarah yang terjadi, sebagian besar dari pengalaman spiritual yang saya alami, sebagian dari catatan perpustakaan Belanda yang di bawa Mahasiswa Jepang yang sedang menempuh S3”, tutur pak Asy’ari. Selain itu, beliau juga mendapatkan keterangan dari Al-Mursyid Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan yang sanadnya sampai pada ahli makam Kalibening.
Berdasarkan keterangan yang beliau terima, makam-makam tersebut Adalah makam para auliya’ penyebar islam sekaligus pejuang kemerdekaan pada masa penjajahan Belanda. Tokoh utama yang berperan sebagai guru dari tokoh-tokoh yang lain adalah Mbah Ibrohim. Nama lengkap beliau adalah Sayyid Ibrohim Mertowikromo bin Rukhil bin Muqoddam Muhammad bin Mursyid bin Syekh Saiful Hijad bin Sekh Abdul Qodir. Silsilah beliau sampai pada Sayyid Hidayatullah dari Cirebon dan Muttashil kepada Rosulullah SAW. Beliau adalah seorang ulama terkemuka yang hidup pada sekitar tahun 1700-an. Beliau juga tercatat sebagai salah satu tokoh yang menurunkan ulama-ulama besar di eks karesidenan Pekalongan dan sekitarnya. Beliau memiliki empat orang putra, yaitu Mbah Husain yang dijuluki “Macannya Pekalongan”, mbah Sulaiman, mbah Jailani dan mbah Joyowokromo.
Selain mengajarkan ilmu-ilmu di bidang keagamaan, melalui pesantren yang diasuhnya, beliau juga menanamkan semangat berjuang melawan Belanda kepada para santrinya yang berasal dari berbagai penjuru nusantara. Beliau mampu mengobarkan semangat di dada masyarakat dan santri-santrinya untuk melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Menurut catatan di Perpustakaan Belanda yang di bawa oleh Mahasiswa S3 dari Jepang, ada 41 nama ulama Kalibening yang dianggap sebagai “penjahat” oleh pemerintah Belanda kala itu. 41 ulama tersebut semuanya adalah murid mbah Ibrohim yang pernah dibai’at langsung oleh Nabi Khidzir as. di Pesisir Kidul (Cilacap), sekarang tempat pembai’atan tersebut menjadi mushalla, hal ini sebagaimana dijelaskan oleh mbah Muhaiminan Parakan. Selanjutnya 41 ulama tersebut menyebar di berbagai daerah untuk menyebarkan ajaran Islam sekaligus berjuang melawan penjajah.
Diantara murid-murid mbah Ibrahim yang terkemuka adalah Habib Umar bin Yahya, Nama lengkap beliau adalah Sayid Imam Mujahid Habib Umar bin Hamid bin Yahya. merupakan keturunan ke-33 dari Rosulullah SAW. Pada masa penjajahan, selain tekun mengaji di pesantren, beliau juga turut andil dalam berjuang mengusir penjajah. Habib Umar bin Yahya berperan sebagai panglima sekaligus pengatur siasat perang di bawah pimpinan pangeran Diponegoro. Beliau adalah seorang ulama yang tidak hanya terkenal pandai dalam bidang agama, namun juga piawai di bidang ekonomi, beliau sehari-hari bekerja sebagai pedagang kuda, kemudian hasil usahanya digunakan untuk kepentingan umat dan perjuangan mengusir penjajah.
Habib Umar bin Yahya mengabdikan ilmu, harta dan jiwanya untuk perjuangan dakwah islam dan melawan penjajah, hingga akhirnya beliau wafat dan dimakamkan di pemakaman Kalibening. Menurut pak Asy’ari, jika Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan yang masih cucu Habib Umar memintakan gelar Pahlawan Nasional untuk sang kakek, sudah pasti Habib Umar mendapatkan gelar tersebut, namun Habib Luthfi tidak berkenan melakukannya.
Selain habib Umar, santri mbah Ibrohim yang juga berperan penting dalam perjuangan melawan penjajah adalah Sayid Hasan Husain bin Abdullah. Beliau adalah seorang yang alim dan merupakan mursyid thoriqoh pada masa itu. Selain itu, Sayid Hasan Husain bin Abdullah memiliki andil besar dalam masa perjuangan, yaitu sebagai pembuat senjata dan perlengkapan perang. Beliau termasuk pejuang yang gugur dan dimakamkan di pemakaman Kalibening bersebelahan dengan habib Umar bin Yahya.
Selanjutnya, Syekh Abdul Hamid atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Diponegoro ternyata juga termasuk salah satu santri dari mbah Ibrohim, hampir semua orang di negri ini mengenal sosok beliau, beliau adalah putra mahkota kerajaan Solo, juga diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia. Pangeran Diponegoro hidup satu masa dengan Habib Umar bin Yahya dan Sayyid Hasan Husain bin Abdullah pada tahun 1800-an. Beliau merupakan ulama besar, guru Thoriqoh, sekaligus pejuang dan pimpinan pasukan perang dalam perjuangan melawan Belanda. Mungkin tidak banyak yang mengetahui jika Pangeran Diponegoro pernah nyantri dan ikut berjuang di kawasan Limpung.
Memang tidak ada catatan sejarah yang menyebut nama Kalibening ataupun Limpung dalam sejarah hidup Pangeran Diponegoro, namun pihak kraton Solo sendiri mengakui keafsahan kisah tersebut. Beliau termasuk salah satu dari 41 orang yang dibai’at oleh Nabi Khidzir as. Selain dibekali ilmu agama yang kuat, oleh gurunya yaitu mbah Ibrohim, pangeran Diponegoro juga dibekali dua senjata pusaka untuk membantu perjuangannya mengusir penjajah, yaitu keris Nogo Sosro dan keris Pedut.
Menurut penuturan Pak Asy’ari, pondok pesantren yang diasuh oleh mbah Ibrohim ini suatu hari dibom oleh Belanda ketika para santrinya sedang bermusyawarah, sehingga meluluh lantakkan bangunan pesantren dan menewaskan banyak santri-santri beliau termasuk habib Umar bin Yahya dan Sayid Hasan Husain bin Abdullah, bahkan kraton Solo mengatakan bahwa termasuk yang wafat pada kala itu adalah Pangeran Diponegoro, sekaligus juga dimakamkan di Kalibening, namun menurut sumber yang lebih dipercaya Pangeran Diponegoro pada saat terjadi penyerangan tersebut berhasil lolos dan melarikan diri ke Tondano, Maluku. Beliau melanjutkan dakwah dan perjuangan, hingga wafat dan dimakamkan di sana pada tahun 1829M.
Tidak disangka-sangka, ternyata Limpung memiliki kisah perjuangan yang heroik serta tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan yang luar biasa. Banyak dari kita yang sama sekali tidak tahu menahu mengenai hal ini. Sungguh sangat disayangkan jika pada masa yang akan datang, generasi muda kita melupakan sejarah, tidak tahu siapa nenek moyang mereka, tidak tahu siapa yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa, apalagi sampai tidak tahu bahwa Indonesia sebelum merdeka pernah dijajah lebih dari tiga setengah abad lamanya. Bagaimana generasi muda kita dapat menghargai dan menanamkan kecintaan kepada bangsa dan negaranya jika mereka buta sejarah.
Sungguh miris melihat kenyataan saat ini banyak pihak yang berusaha merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mulai dari merebaknya aliran-aliran radikal trans-nasional, gerakan anti-NKRI, anti-Pancasila, isu negara khilafah, maraknya fitnah-fitnah dengan tujuan membenturkan unsur-unsur yang sudah mapan di Indonesia, terbukti kini mulai muncul konflik antar agama, ras, suku bahkan hanya karena beda organisasi masa.
Perlu kita galakkan lagi semangat persatuan dan kesatuan bagi para generasi muda. Bangsa kita saat ini tengah dikepung dan menjadi incaran untuk dikuasai asing, mereka hendak mengeruk kekayaan alam yang melimpah ruah di Indonesia. Tak ada cara lain bagi mereka kecuali memecah belah dan mengadu domba. Kita lihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini, sering sekali muncul aliran-aliran sempalan yang dengan lantang menyerukan hendak keluar dari NKRI, mulai banyak aliran Islam yang berusaha mengubah sistim pemerintahan demokrasi menuju sistim khilafah, mereka hendak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Padahal hal itu merupakan rekayasa negara-negara asing agar bangsa Indonesia terpecah belah, sehingga dapat dengan mudah mereka kuasai.
Ironisnya, mayoritas pelajar kita, sebagai generasi muda Indonesia, mereka belum sadar akan fakta yang benar-benar tengah terjadi di Negaranya sendiri. Mereka terlalu asik dengan gadget, android dan media-media sosial, melupakan semangat belajar dan mendalami sejarah, bahkan dengan mudah termakan oleh berita-berita Hoax yang bersifat provokatif, sangat mudah termakan pemahaman yang keliru mengenai sistim demokrasi dan NKRI, generasi muda kita semakin jauh dari ulama, mereka sedikit demi sedikit mulai dijauhkan dari sejarah bangsa yang begitu panjang, penuh perjuangan dan banjir darah.
2 Responses to "Persembahan Ulama’ Pesantren untuk Bumi Pertiwi: Menapak Histori Perjuangan di Kota Emping; LIMPUNG"
Pembelokan Sejarah
Cerita fiktif yg dijadikan sejarah miriss
Post a Comment